Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Thursday, July 10, 2008

Energi Harus Diaudit

Keterbatasan pasokan energi sudah lama dikeluhkan
investor. Tanpa audit manajemen energi, terutama kelistrikan,
perusahaan dan tenaga kerja akan terus terkena dampak negatif.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno seusai rapat kerja
dengan Komisi IX DPR di Jakarta, Kamis (10/7), menjelaskan, penyerapan
tenaga kerja butuh kesinambungan investasi. Tanpa jaminan pasokan
energi, pengusaha sulit mengembangkan bisnisnya dan berdampak pada
keterbatasan penciptaan lapangan kerja baru.

Untuk jangka menengah, saya minta diadakan audit manajemen energi
supaya perusahaan dan tenaga kerjanya sebagai konsumen tidak terus
dirugikan. Jangka pendeknya, untuk sementara mereka harus mau pindah
hari kerja ke Sabtu dan Minggu dulu, kata Mennakertrans.

Audit manajemen energi diharapkan bisa menjelaskan kondisi terakhir
kelistrikan nasional. Keterbatasan pasokan listrik yang semakin kritis
dipastikan memengaruhi produktivitas perusahaan dan tenaga kerja.

Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, yang memimpin rapat koordinasi di
Istana Wapres, Jakarta, Kamis sore, meminta draf surat keputusan
bersama (SKB) peralihan hari kerja industri pada Sabtu dan Minggu
dibahas kembali. Pemerintah ingin SKB yang terpaksa dikeluarkan akibat
defisit pasokan daya listrik PT PLN (Persero) bisa berjalan sempurna
dan efektif.

Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)
Sofjan Wanandi menegaskan, tuntutan pekerja untuk mendapat upah lembur
bila kegiatan produksi dialihkan ke Sabtu dan Minggu tidak bisa
diselesaikan secara bipartit. Upah lembur hanya diberikan jika jam
kerja lebih dari 7-8 jam sehari atau 40 jam seminggu.

Peralihan hari kerja ke Sabtu dan Minggu tak bisa diklaim sebagai
lembur karena tetap ada kompensasi libur di antara Senin dan Jumat.
Sofjan meminta pemerintah menerbitkan surat keputusan khusus untuk
menegaskan soal lembur. Jangan industri dibiarkan berkelahi sendiri
dengan PLN, dengan buruh, ujar Sofjan.

Menurut Mennakertrans, soal lembur tetap harus mengikuti regulasi hak
normatif sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Rekson
Silaban mengusulkan, PLN mendiskon tagihan listrik industri yang rela
pindah hari kerja. Pengusaha yang mendapat keringanan ini lantas bisa
memberikan kepada buruh sebagai insentif untuk kerja hari Sabtu dan
Minggu, ujarnya.

Kurangi 15 persen
Mengantisipasi krisis listrik, kalangan pengusaha di Jawa Barat
memilih langkah mengurangi pemakaian listrik PLN hingga 15 persen
setiap hari. Langkah itu diambil untuk menghindari pemadaman listrik
bergilir.

Ketua Dewan Pengurus Apindo Jawa Barat Dedy Wijaya mengatakan, Dari
pertemuan Apindo dengan PLN Distribusi Jabar dan Banten, PLN
memberikan jaminan tidak akan melakukan pemadaman apabila setiap
pabrik mau mengurangi pemakaian daya listrik rata-rata 15 persen.

Namun, Apindo meminta PLN tidak melakukan pemadaman tanpa
pemberitahuan. Akibat pemadaman mendadak, Mei sampai Juni lalu,
kalangan pengusaha di Jawa Barat mengalami kerugian hingga ratusan
miliar rupiah.

taken from: KOMPAS

Manusia Indonesia Dikuasai Budaya Konflik

Pikiran orang Indonesia dikuasi oleh budaya konflik.
Kita lebih tahu cara, teknik, dan strategi berkonflik ketimbang cara
dan strategi berkolaborasi atau bekerja sama dengan pihak lain.

Demikian dinyatakan Prudensius Maring menjawab pertanyaan, kenapa
Indonesia terus dilanda konflik, yang diajukan salah seorang
penyanggah dalam sidang terbuka promosi doktor antropologi di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Di ranah akademis, ilmuwan sosial lebih banyak melakukan kajian-kajian
tentang konflik ketimbang kajian-kajian tentang kolaborasi. Karenanya,
para akademisi juga ikut bertanggung jawab atas tidak munculnya aspek
kolaborasi dalam berbagai konflik sering disertai kekerasan.

Untuk mewujudkan Indonesia yang damai, kita perlu lebih kembangkan
pikiran tentang kolaborasi, kata Prudensius. Disertasinya berjudul
Hubungan Kekuasaan: Konflik, Perlawanan, dan Kolaborasi dalam
Penguasaan Hutan di Egon, Flores.

Menggunakan teori kekuasaan Michael Foucault, dalam penelitiannya,
Maring menemukan, di kawasan hutan Gunung Egon bukan hanya terjadi
konflik antara pemerintah dan masyarakat setempat, tetapi masyarakat
adat juga sering berkolaborasi dengan pemerintah agar dapat
memanfaatkan secara optimal lahan dan sumber daya lainnya.

Kehadiran badan nonpemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM)
ternyata tidak selalu disambut baik masyarakat. LSM yang hidup dari
dana luar negeri dianggap mewakili kepentingan asing, tutur Maring
yang menyusun disertasi dengan promotor Prof Dr Achmad Fedyani
Saifuddin. Maring lulus dengan predikat summa cum laude.

Di FISIP UI, kemarin, juga berlangsung sidang promosi doktor Djainal
Abidin S, peneliti dan koordinator pelatihan di Lembaga Demografi
Fakultas Ekonomi UI dengan disertasi berjudul Modal Sosial dan
Dinamika Usaha Mikro Kecil (UMK): Suatu Studi Sosiologi Ekonomi di
Perkampungan Industri Kecil Jakarta.

taken from: KOMPAS

Wednesday, July 9, 2008

STOP PRESS !!!

Pro segenap Veteran:

Telah diluncurkan dengan sukses sebuah blog dari kawan kita yg sedang berbahagia:
please welcome: http://www.ockeydockey.blogspot.com/

Sukses For All

Sunday, July 6, 2008

Kemerdekaan Pers dan Lumpur Lapindo

Bukan rahasia lagi jika dalam kasus semburan lumpur Lapindo itu muncul fenomena yang sebenarnya tidak baru, yaitu ‘jual-beli’ informasi. Jika dalam dunia hukum ada fenomena mafia peradilan yang melibatkan polisi, jaksa, hakim serta advokat (pengacara) selaku makelar kodok, tampaknya dalam dunia jurnalistik juga ada mafia jurnalistik. Ada kawan wartawan yang bisa menjelaskan konspirasi antara pihak Lapindo Brantas Inc. dengan para jurnalis. Ia memetakan kelompok konspirasi itu ada tiga, yaitu: konspirasi dengan jurnalis secara pribadi, konspirasi dengan perusahaan media dan konspirasi dengan redaksi media. Wallahu’alam.

Sudah berbulan-bulan ini tampaknya media (pers) seolah enggan memberitakan keadaan riil para korban lumpur Lapindo. Yang lebih banyak menjadi bahan berita adalah perundingan antara para pengurus Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) dengan PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Pers juga sudah enggan mengulas tentang peran pemerintah ketika MLJ tapi kini berbalik arah ‘membangkang’ Perpres No. 14 Tahun 2007 dengan kemunculan skema penyelesaian sosial cash and resettlement, yang dengan sendirinya melanggar klausul cash and carry perjanjian ikatan jual-beli (PIJB) antara MLJ dengan korban lumpur Lapindo.

Tetapi justru yang sering muncul di beberapa media adalah berita advertorial atau advertorial terselubung dengan judul yang sama, yaitu: “Sidoarjo Bangkit.” Dalam advertorial – baik yang terang-terangan maupun terselubung – itu isinya sama: mengulas bahwa seolah-olah skema relokasi ke Kahuripan Nirwana Village (KNV) adalah ‘masa depan’ yang baik. Pers tidak memuat informasi yang benar tentang keluhan para korban lumpur Lapindo sendiri, baik yang ‘terpaksa’ menerima skema cash and resettlement maupun yang menolak. Pers hanya mengutip komentar para petinggi MLJ, menteri, aparat dan pengurus GKLL, memuji model cash and resettlement sebagai cara terbaik. Pers tidak menampilkan kritikan atas ‘pembangkangan’ Lapindo dan MLJ tersebut.

Idealisme pers

Hal menyedihkan semacam itu tidak saja terjadi dalam kasus lumpur Lapindo. Dalam perpolitikan misalnya juga terjadi di mana dengan dalih profesionalisme pers ada para jurnalis jebolan dari berbagai perusahaan media yang bergabung membuat media baru yang khusus menjadi corong salah satu calon gubernur. Mereka berdalih bahwa yang mereka jual adalah jasa profesi sebagai jurnalis.

Menurut UU No. 40 Tahun 1999, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik (pasal 1 angka 1). Dalam penjelasan pasal 3 ayat (2) dijelaskan: Perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya. Lantas bagaimana cara melaksanakan prinsip ekonomi dengan kewajiban sosialnya?

Saya coba korelasikan hal itu dengan kewajaran atau kepatutan yang menjadi asas hukum. Apakah wajar dan patut misalnya perusahaan pers menerima iklan yang sifatnya subyektif dari pihak Lapindo untuk menjalankan prinsip ekonomi korporasi pers, padahal Lapindo sedang berkonflik dengan masyarakat? Pers bisa menjadi kikuk dalam memberitakan kondisi riil masyarakat korban secara utuh. Atau, menurut beberapa kawan jurnalis, ada perusahaan pers yang ‘menghantam’ Lapindo dengan berita yang khusus meliput derita korban lumpur Lapindo, yang tujuannya untuk memperoleh harga iklan yang tinggi?

Baik pers, aktivis LSM atau NGO, seharusnya tidak menjadi omnivora yang ‘memakan segala’ tanpa memasang ukuran idealisme. Ada contoh, sebuah lembaga bantuan hukum yang menetapkan etika tak tertulis, di mana advokat yang bergabung di dalamnya dilarang membela pengusaha melawan buruh, pemerintah melawan warga, tuan tanah melawan petani, korporasi melawan masyarakat, tidak boleh membela tersangka/terdakwa kasus korupsi. Hal itu untuk menghindari konflik kepentingan, sebab misi lembaga hukum diprioritaskan membantu kaum lemah. Sedangkan kaum kuat ekonomi lebih leluasa untuk menyewa advokat komersiil.

Arah bisnis media, dalam persaingan yang semakin ketat, tampaknya mulai menanggalkan baju idealisme. Pers mengarah pada korporasisasi, di mana pelaksanaan kewajiban sosialnya berubah menjadi semacam praktik corporate social responsibility (CSR) yang dilakukan korporasi pada umumnya.

Berita yang disajikan dalam beberapa hal menjadi alat tawar-menawar, meski dalam beberapa hal masih ada yang dimaksudkan untuk kontrol sosial. Tetapi dengan masuknya pebisnis bermasalah ke ruang ekonomi pers, maka kontrol sosialnya menjadi disparatif. Pers akan cenderung melunak dengan para pemasang iklan yang berkonflik dengan masyarakat, tapi bisa lebih garang kepada ‘penguasa’ yang tidak memasang iklan. Itu jelas tidak adil.

Kemerdekaan pers

Dalam era demokrasi yang semakin menguat, kemerdekaan pers tak lagi diancam oleh penguasa represif, tapi oleh kekuatan ekonomi hitam. Ketika ada hakim yang memukulkan palu hukuman kepada pers atas gugatan korporasi atau suatu pihak dengan tuduhan pencemaran nama baik, bisa jadi itu disebabkan pengaruh uang korporasi itu (baca: suap) kepada penegak hukum, bukan karena tekanan kekuasaan politik.

Tangan-tangan kekuasaan ekonomi itulah yang mengancam memasung kemerdekaan pers, sebab dengan iming-iming uang maka ada para jurnalis yang mengorbankan idealisme dan independensinnya. Kinerja pers dalam memberitakan kasus lumpur Lapindo hanya merupakan salah satu contoh isu ketidakmerdekaan pers yang merebak luas. Isu itu bukan semata dugaan eksternal pers, tapi juga atas ‘kesaksian’ para jurnalis yang masih bisa mempertahankan idealisme mereka.

Masyarakat mempunyai hak untuk disuguhi informasi yang adil dan obyektif. Memang sulit mengukur keadilan dan obyektivitas itu, meski hal itu bisa saja dibawa ke ranah hukum. Tetapi hukum yang masih terjangkit virus korupsi juga belum dapat menjamin terwujudnya keadilan. Namun dengan semakin menguatnya ‘rasan-rasan’ di masyarakat tentang ‘permainan pers’ dalam kasus lumpur Lapindo itu, maka Dewan Pers seharusnya mengambil inisitif untuk melakukan ‘pengintaian’ untuk mencari bukti-bukti tentang siapa saja jurnalis maupun perusahaan pers yang telah bermain.

Kita tengah membangun martabat bangsa ini. Ketika kita mulai ramai membangun hukum agar lebih beradab, jangan sampai dunia pers kita terlupakan dan menjelma menjadi ‘perusahaan informasi’ yang tak lagi mengenal misi sosial dalam rangka melaksanakan kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum (lihat pasal 2 UU No. 40 Tahun 1999). Misi sosial itu bukanlah dengan menyumbang beras dan uang, tapi melakukan kontrol sosial yang fair.

taken from: Subagyo

Friday, July 4, 2008

Moment Terkini