Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Monday, October 5, 2009

Dollar Gratis ... Mau??

Penasaran?


Monday, November 17, 2008

Renungan dari Dalai Lama - Jangan Pernah Menyerah


Jangan Pernah Menyerah ( dalam memperjuangkan Kebenaran )
Tidak perduli apa pun yang sedang terjadi..

Jangan Pernah Menyerah
Dalam mengembangkan dan mengenal Hati Nurani

Terlalu banyak usaha dalam penduduk dunia,
lebih mengembangkan kecerdasan otak dan pikiran logika
daripada mengembangkan dan mengenal Hati Nurani

Berbelas Kasihlah
Tidak hanya kepada teman-teman Anda,
tapi kepada setiap orang..

Berbelas Kasihlah
Berkarya untuk Perdamaian,
di dalam hatimu dan Dunia ini

Sekali lagi,
Jangan Pernah Menyerah
Tidak perduli apapun yang sedang menimpa dirimu
Tidak perduli apapun yang sedang terjadi di sekelilingmu..

Jangan Pernah Menyerah

– Dalai Lama –

Tuesday, October 28, 2008

Pernyataan Sultan HB X Bukan Sesuatu Yang Mengejutkan

Pernyataan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X yang siap maju dalam bursa calon presiden (capres) 2009 bukan merupakan sesuatu yang baru dan mengejutkan, karena selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, Raja Keraton Yogyakarta ini telah melakukan berbagai langkah politik menuju panggung politik nasional.

"Sebenarnya Sultan telah lama melakukan langkah-langkah politik, persisnya sejak reformasi untuk mempersipkan diri tampil di panggung politik nasional, sehingga pernyataan tersebut bukan merupakan sesuatu yang baru dan mengejutkan," kata pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, AAGN Ari Dwipayana, SIP, MSi, Rabu.

Menurut dia, pernyataan Sultan yang mengambil momentum `pisowanan agung` (pertemuan akbar rakyat dan raja) yang digagas elemen masyarakat Yogyakarta tersebut hanya merupakan pengesahan atau penegasan dari upaya dan langkah politik yang telah dirintisnya selama beberapa tahun ini.

"Pernyataan tersebut hanya sebuah upaya untuk menguji `riak air` baik dari elemen masyarakat maupun partai politik sebagai strategi untuk memperoleh gambaran dukungan politik dari elemen masyarakat dan partai politik yang selama ini belum jelas," katanya.

Ia mengatakan, dengan pernyataan tersebut maka Sultan dapat mengukur sejauh mana reaksi dari elemen masyarakat dan partai politik dan sejauh mana dampak dari pernyataan tersebut baik dari masyarakat maupun partai politik untuk menuju proses konsolidasi politik.

"Jika reaksi sangat signifikan, maka ini akan mengundang elemen masyarakat maupun partai politik dan berbagai pihak untuk melakukan konsolidasi politik, ini penting bagi Sultan untuk menentukan apakah dia akan tetap berada pada barisan Partai Golkar atau dengan partai lain," katanya.

Ia menambahkan, untuk saat ini masih sulit untuk mengukur peluang Sultan dalam bursa capres tersebut karena konfigurasi politik masih akan terus berubah hingga pemilu legislatif nanti.

"Peluang Sultan masih sangat tergantung konsolidasi politik nanti, dan ini baru akan nampak jelas setelah pemilu legislatif nanti apakah akan bisa memperoleh kendaraan politik partai besar atau dengan kendaraan lain. Ini hanya strategi untuk menjaring berbagai kekuatan politik," katanya.

sumber: ANTARA

Sunday, October 26, 2008

Kaki Langit

oleh: Goenawan Mohamad

DI makam pahlawan tak dikenal, kita diberi tahu: ada seorang yang luar biasa berjasa, tapi ia tak punya identitas. Ia praktis sebuah penanda yang kosong. Tapi hampir tiap bangsa, atau lebih baik: tiap ide kebangsaan, memberi status yang istimewa kepada sosok yang entah berantah yang terkubur di makam itu.


Orang yang pertama kali melihat fenomen itu adalah Benedict Anderson. Dalam Imagined Communities-nya yang terkenal itu, ia menulis: ”Betapapun kosongnya liang lahat itu dari sisa-sisa kehidupan yang fana dan sukma yang abadi, tetap saja mereka sarat dengan anggitan tentang ’kebangsaan’ yang membayang bagai hantu.”


Barangkali sebuah bangsa memang harus selalu menyediakan ruang kosong untuk sebuah cita-cita. Seperti kita memandang ke kaki langit yang sebenarnya tak berwujud, tapi kita ingin jelang. Sekaligus, barangkali sebuah bangsa membutuhkan bayangan yang bagai hantu tentang dirinya: antara jelas dan tak jelas.


Pahlawan Tak Dikenal. Pahlawan Kita. Antara ”tak dikenal” dan ”kita” ada pertautan dan juga jarak. Ia yang gugur itu adalah seorang yang sebenarnya asing—bukan yang dalam bahasa Inggris disebut foreigner, melainkan stranger—tapi ia juga bagian terdalam dari aku dan engkau. Jika tampak ada yang bertentangan di sini, mungkin itu juga menunjukkan bahwa sebuah bangsa—seperti yang dimaklumkan oleh Sumpah Pemuda pada 1928 itu—memang mengandung ketegangan dan keterpautan antara yang asing dan yang tak asing dalam dirinya sendiri.


Seperti sang pahlawan yang tak dikenal itu: yang termasuk dalam ”kita” tak selamanya datang dari puak kita. Salah satu anasir dalam bangsa bisa bekerja untuk unsur yang lain, meskipun keduanya tak saling kenal betul, bahkan ada saat-saat ketika yang satu disebut ”asing” oleh yang lain. Itulah sebabnya kepeloporan para pendiri Indische Partij tak dapat dilupakan: ”orang Indonesia” adalah orang yang bisa melintasi batas, menemui yang ”asing”, untuk jadi satu—tapi di situ ”satu” sebenarnya sama dengan yang tak terhingga. Sebab sebuah bangsa yang tak didefinisikan oleh ikatan darah adalah sebuah bangsa yang selalu siap menjangkau yang beda—dan yang beda tak bisa dirumuskan lebih dulu, tak bisa dikategorisasikan kemudian. Ia tak tepermanai.


Seperti pahlawan tak dikenal itu: ia memberikan hidupnya buat kau dan aku, tapi ia bukan bagian kau dan aku.


Maka tak aneh jika dalam semangat kebangsaan, tersirat sebuah paradoks: sesuatu yang universal ada di dalamnya. Sebab sebuah bangsa pada akhirnya hanya secara samar-samar, seperti hantu, bisa merumuskan dirinya sendiri. Yang penting akhirnya bukanlah definisi, melainkan hasrat. Renan menyebut bahwa bangsa lahir dari ”hasrat buat bersatu”, tapi seperti halnya tiap hasrat, ia tak akan sepenuhnya terpenuhi dan hilang. Hidup tak pernah berhenti kecuali mati.


Dalam hal itu, orang sering lupa bahwa bangsa sebenarnya bukan sebuah asal. Ia sebuah cita-cita—dan di dalamnya termaktub cita-cita untuk hal-hal yang universal: kebebasan dan keadilan. Bangsa adalah kaki langit.


Kaki langit: impian yang mustahil, sulit, tapi berharga untuk disimpan dalam hati. Sebab ia impian untuk merayakan sesuatu yang bukan hanya diri sendiri, meskipun tak mudah.


Sebuah bangsa adalah sebuah proses. Jangan takut dengan proses itu, kata orang yang arif. Tak jarang datang saat-saat yang nyaris putus harapan, tapi seperti kata Beckett dalam Worstward Ho, ”Coba lagi. Gagal lagi. Gagal dengan lebih baik lagi.”


from: http://tempointeraktif.com/

Friday, October 24, 2008

Menyelamatkan Bakrie, SBY kelihatan Orde Baru sejati

oleh: Wimar Witoelar

Pada saat tulisan ini dikirimkan, CNN baru mengeluarkan ringkasan hasil polling mengenai debat presiden Amerika Serikat. Sudah selesai semua debat calon presiden, tiga semuanya. Hasilnya dalam persentase. Untuk debat pertama, Obama-McCain 51-31. Debat kedua, 54-30. Debat ketiga, 58-31. Menurut CNN perkiraan electoral vote adalah 277 untuk Obama dan 174 untuk McCain dengan state (negara bagian) yang tossup (bisa kesana bisa kesini) sebanyak 87.

Amdaikata McCain menang semua tossup states, dia tetap kalah. Jadi dia harus menang semua tossup states seperti Florida, Ohio dan North Carolina. Tidak cukup itu, McCain harus merebut state yang diperkirakan mendukung Obama seperti Pennsylvania dan Virginia. Sebaliknya Obama cukup mempertahankan posisi. Karena itu McCain agresif, Obama defensif. Ibarat pertandingan sepakbola dimana Obama di depan 2-0 dengan sisa waktu 10 menit. McCain harus tetap bersemangat kampanye dan orang-orangnya harus tetap percaya diri, supaya pendukungnya tidak patah semangat dan tetap mau mengikuti Pemilu. Obama harus tetap bersemangat dan tidak menunjukkan rasa menang,supaya pendukungnya tetap semangat sampai memberikan suara pada tanggal 4 November. Kalau mereka merasa sudah menang, mungkin mereka malas memilih, karena merasa sudah pasti menang

Di kita, posisinya agak terbalik. Yang diatas angin adalah pihak elite, yang kalah adalah orang biasa. Kalau ikut rumus tadi, elite harusnya tenang dan orang biasa bersikap galak. Tapi disini malah elite makin berani menjalankan kolusi dan orang biasa makin menerima. Terbukti dalam kolusi Bakrie dengan SBY untuk menyelamatkan perusahaannya yang ambruk. Dalam kasus Lapindo, Bakrie tidak mau menunjukkan simpati kepada korban luapan lumpur. Sekarang Bakrie kena musibah pasar, dia minta simpati SBY. Minta dibantu dengan uang negara melalui BUMN. Orang biasa yang merasa elite berkuasa, merasa tidak punya jalan keluar. Mereka merasa terpaksa menerima keserakahan penguasa.

Padahal kita tidak harus menerima ketidak adilan. Kita bisa mengajak orang biasa memberikan pendapat. Kalau tidak, orang baik makin sedikit, dan orang jahat makin banyak. Apakah lupa munculnya Orde Baru? Tokoh angkatan 66 ikut membenarkan Suharto. Sekarang tokoh reformasi 98 ikut membenaran SBY. Dengan menyelamatkan Bakrie, SBY kelihatan Orde Baru sejati. Tujuannya hanya mempertahankan kekuasaan, yang dipakai untuk melindungi pengusaha yang mendukungnya. Segitiga SBY-Bakrie-Kalla menggelinding menuju Pilpres 2009.

Krisis ekonomi dunia saat ini timbul karena terlalu banyak andalan pada kelancaran kredit. Kredit murah membuat orang berhutang lebih besar dari kemampuan membayar. Ketika timbul masalah dalam pembayaran kredit, masalah itu diatasi dengan meminjam lebih banyak lagi, gali lubang tutup lubang. Makin banyak kita punya kenalan di Bank, makin mudah meminjam uang. Kalau kita kenal penguasa, lebih mudah lagi. Meminjam menjadi sangat mudah kalau kita kenal Presiden yang tidak jujur. Kreditor mana akan menolak kasih kredit kalau Presiden memberikan lampu hijau?

Setelah 11 September 2001, Bush menumbuhkan mesin ekonomi dengan melancarkan kredit properti. Semua berjalan mulus sampai satu saat kredit perumahan yang terlalu lancar di Amerika Serikat menghasilkan kelebihan bangunan, Harga properti jatuh. Nasabah kredit tidak bisa bayar kredit. Bank tertimpa kredit macet dan terpaksa minta pinjaman dari lembaga keuangan lain. Sekuritas yang dibangun diatas jaminan kredit anjlok nilainya. Perusahaan asuransi jatuh nilai assetnya. Perusahaan asuransi AIG jatuh dan diberi bailout USD 770 Milyar. Dengan cepat jepitan kredit merembes ke Eropah dan Asia.

Akhirnya kemacetan kredit internasional menimpa perusahaan di Indonesia yang punya hutang besar pada pihak asing. Tidak mampu bayar kredit, takut disita jaminan berupa saham perusahaan, akhirnya Bakrie bersembunyi dari kenyataan pasar dan meminta pemerintah mengatur BUMN ikut bantu.

Menko Sri Mulyani tidak setuju, sebab ini intervensi pasar. Lebih baik Bakrie jatuh daripada orang biasa ikut menderita. Pada krismon 97, banyak perusahaan jatuh dan pimpinannya dituntut. Krismon 2008 menyangkut satu perusahaan, dan pimpinannya adalah pembantu terdekat Presiden. Pinjaman macet Bakrie adalah untuk menjadi makin kaya lagi, bukan untuk kesejahteraan rakyat.

SBY tetap merasa berhutang budi pada Bakrie dan menolak keberatan Sri Mulyani. Beliau tidak tahu, kekuatannya dari suara rakyat, bukan dari penguasa yang memanfaatkannya. Setelah Sri Mulyani gagal mempertahankan sikapnya untuk melepas Bakrie ke pasar, Bakrie mulai menjual sahamnya diam-diam. Kepada pihak asing dilakukan dengan cepat dengan kerugian besar, karena takut kena sita jaminan. Penjualan saham kepada pihak Indonesia yang dikoordinasi Mentri BUMN dan Sekneg akan terjadi dengan lebih leluasa dan harga yang lebih manis untuk Bakrie.

Seorang pengamat cerdas mengeluhkan gagalnya reformasi 1998 dan mengatakan: "Tahun-tahun terbuang…" Bakrie bantu Kalla, Kalla bantu SBY, SBY balas budi dengan mengangkat Kalla sebagai Wakil Presiden dan Bakrie sebagai Menko Ekuin. Ketika Bakrie gagal mengurus ekonomi, dia tetap dipertahankan sebagai Menko Kesejahteraan Rakyat, walaupun tidak memiliki jiwa sosial sama sekali.

Balas budi SBY kini menggunakan dalih "mendukung swasta nasional". Ekonom dan politikus nasionalis mengatakan, Bakrie sebagai perusahaan nasional harus dibantu melawan ancaman cengkeraman asing. Orang lupa bahwa orang Indonesia yang menjahati rakyat perlu dikenakan sangsi sebelum kita mempersoalkan orang asing.
Bakrie adalah pengusaha nasional tapi bukan nasionalis. Kebesaran usahanya dan statusnya sebagai orang terkaya dicapai melalui kolusi politik dengan SBY dan kolusi pasar dengan perusahaan luar negeri.

Ketika krisis internasional menjatuhkan harga pasar Bakrie, dia lari minta perlindungan kepada Presiden. Sangat menyedihkan, bahwa orang-orang pandai di Indonesia membenarkan bantuan SBY kepada perusahaan yang antisosial ini. Sangat menyedihkan bahwa suara jernih Menko Sri Mulyani tidak didukung secara terbuka, hanya melalui bisik-bisik.

Pengamat cerdas itu melanjutkan dalam email: "Jelek-jelek, pemilihan Presiden di Amerika Serikat memberi kesempatan calon Presiden untuk berpendapat dan untuk menunjukan kemampuan. Disini ? Apa yang jadi penentu seseorang jadi Presiden: Intrik dan uang"

Betul sekali. Tapi kita tidak boleh berhenti dengan mengeluh dan putus asa. Marilah kita sebagai orang biasa belajar mengerti persoalan. Kalau sudah mengerti, marilah membentuk sikap. Kalau sudah punya sikap, marilah menyatakan sikap dan bersuara. "A bell is no bell until you ring it. A song is no song until you sing it."