Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Friday, February 22, 2008

Ulang Tahun

Aku tak pernah memikirkan bagaimana kalau sebenarnya aku tidak dilahirkan pada hari itu, melainkan sehari sebelumnya, atau sehari sesudahnya, atau bahkan setahun sesudahnya. Semua kemungkinan ini tentu bisa saja terjadi. Pada saat aku dilahirkan, keberadaanku sebagai seorang manusia, lengkap dengan jasad dan jiwa, memang telah pula lahir. Namun demikian, pada saat itu, aku sama sekali tidak menyadari keberadaanku. Jadi, pada akhirnya, aku sama sekali tidak memiliki pengetahuan dengan pengetahuan dan kesadaranku sendiri tentang kapan dan di mana aku dilahirkan. Pengetahuan itu aku peroleh dari cerita ibu, bapak, dan keluargaku. Ah, aku tak mau berpanjang-panjang pikir soal itu. Toh, ibuku, bapakku, dan keluargaku adalah orang-orang yang sangat aku percayai. Dan lagi, benar tidaknya soal itu tidak merugikan atau menguntungkanku.

Sekarang, hal yang perlu dipikirkan adalah mengapa begitu penting bagi (beberapa) manusia. Waktu itu, aku ditodong teman-teman untuk nraktir mereka makan di kantin. Alasannya: karena aku sedang berulang tahun. Beberapa waktu yang lalu, seorang temanku digotong beramai-ramai oleh teman-temanku yang lain (aku juga ikut) lalu diceburkan ke kolam kampus karena alasan yang sama: ia sedang berulang tahun. (Waktu itu, ia diberi pilihan: nyebur sendiri atau diceburkan beramai-ramai.). Kalau kita mau membuka-buka buku sejarah, kita akan menemukan bahwa pada jaman penjajahan Belanda dulu, untuk merayakan hari ulang tahun Ratu Wilhelmia (ratu kerajaan Belanda), Belanda menghisap habis kekayaan negeri-negeri jajahannya, termasuk Indonesia.

Semua contoh di atas membuktikan bahwa apa yang disebut kebanyakan orang sebagai ulang tahun adalah sangat penting bagi manusia.

Tetapi tidak semua orang menganggap ulang tahun penting. Contohnya adalah masyarakat di desaku. Beberapa orang di antaranya bahkan tidak tahu kapan ia dilahirkan. “Pokoknya, pada jaman Jepang, saya sudah gede, begitu jawab mereka ketika ditanyai tukang sensus perihal tanggal lahir mereka. Aku sendiri tak terlalu memikirkan ulang tahun. Pertama, karena aku dilahirkan dalam kultur santri ndesa, santri kampungan jujur, aku bangga sekali menjadi dan disebut santri ndesa, yang tak mengenal istilah ulang tahun. Kedua, alasan keuangan. Aku tak punya cukup uang untuk berfoya-foya merayakan ulang tahun.(Maaf, kalau saya terkesan menyepelekan makna ulang tahun hanya sebagai sekadar berfoya-foya.)

Tetapi itu pun juga tidak terlalu benar. Walau tak mengenal istilah ulang tahun sebagaimana yang sering digunakan dan dipahami oleh orang-orang kota, orang-orang di desaku mengenal istilah weton atau tiron, hari kelahiran mereka menurut perhitungan Jawa, misalnya, Rebo Pahing, Kemis Pon, atau Jumat Legi. Weton atau tiron itu, bagi mereka, jauh lebih daripada tanggal lahir. Weton sangat berperan dalam menentukan perjodohan dan hari baik. Sepasang muda-mudi yang telah menjalin cinta habis-habisan bisa gagal menikah gara-gara ketidakcocokan weton.

Tidak hanya weton atau tiron, mereka juga memiliki pranata yang disebut sebagai gumbrekan. Istilah terakhir ini menunjukkan betapa mereka adalah orang-orang yang sangat pandai bersyukur dan betapa mereka begitu menghargai sesama makhluk Tuhan. Gumbrekan adalah selamatan yang dilakukan setiap terjadi kelahiran hewan ternak: sapi, kerbau, atau kambing. Gumbrekan juga diadakan untuk memperingati weton hewan-hewan peliharaan mereka itu. Weton manusia berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain, tetapi weton ternak semuanya sama.

Dengan istilah dan gaya yang berbeda, konsep weton juga terdapat dalam kosabudaya Cina. Dalam budaya Cina, kita mengenal istilah shio atau hong shui. Filosofi dua terkahir ini hampir sama dengan weton atau tiron.

Kalau kita mau memperluas cakupan ulang tahun di luar hal-hal yang berhubungan dengan kelahiran manusia, kita akan mengenal istilah ulang tahun perkawinan, ulang tahun perusahaan, atau bahkan ulang tahun kematian. Ada pula ulang tahun kemerdekaan. Peringatan keagamaan, seperti Natal dan Maulid Nabi, jelas juga berdasar pada konsep ulang tahun.

***

Sebenarnya ada hal yang cukup menggelikan bagi saya terhadap istilah ulang tahun. Ada beberapa istilah yang sepadan dengan istilah ulang tahun: kaji ulang, daur ulang, isi ulang, siaran ulang, penataan ulang, atau pemaknaan ulang. Dengan penambahan kata ulang setelah kata tertentu, maka makna baru segera lahir: sesuatu yang diulang kembali. Kaji ulang berarti pengkajian kembali sebuah permasalahan setelah permasalahan tersebut dikaji sebelumnya, daur ulang berarti mengulang kembali daur (perputaran proses) suatu benda, isi ulang berarti mengisi kembali atau mengulang pengisian, dan seterusnya.

Jadi, tampak ada dua hal yang janggal dalam istilah ulang tahun. Pertama berkaitan dengan tata bahasa. Kata ulang tahun, menurut hemat saya, menyalahi kaidah diterangkan-menerangkan (DM) yang galib digunakan dalam Bahasa Indonesia untuk membentuk frase nominal bertingkat. Kalau mau konsisten dengan aturan ini, sebaiknya digunakan istilah tahun ulang dan bukan ulang tahun. Kejanggalan kedua berkaitan dengan konsekuensi pemaknaan yang ditimbulkan oleh istilah ini. Tahun ulang atau baiklah, pakai saja istilah ulang tahun! bukankah bermakna pengulangan tahun. Tahun, seperti kita pahami, seperti halnya detik, jam, minggu, hari, bulan, atau abad, adalah kata untuk menyebut satuan waktu tertentu. Waktu adalah sesuatu yang tak pernah bisa terulang. Ia senantiasa bergerak maju, detik demi detik, dan tak pernah kembali ke belakang. Jadi istilah ulang tahun jelas-jelas mengandung pertentangan di dalam (contradictio in terminis). Tahun tak pernah bisa diulang. Mungkin pada saat seseorang merayakan ulang tahun, hitungan tanggal dan nama bulan pada saat itu sama dengan hitungan tanggal dan nama bulan saat ia dilahirkan, tetapi bagaimanapun jua waktu kelahirannya tak akan bisa diulang. Ia tetap tertinggal di masa lalu.

Bangsa lain—atau paling tidak beberapa bangsa lain—tak pernah menggunakan istilah yang bermakna ulang tahun untuk mengungkapkan perayaan hari kelahiran. Tengoklah Inggris! Bangsa ini atau bangsa-bangsa lain yang menggunakan Bahasa Inggris menggunakan istilah birthday, hari lahir. Untuk mengucapkan selamat bagi seseorang yang sedang merayakan hari lahirnya, mereka cukup berkata, “Happy birthday!�. Kita, dengan seenak perut, menerjemahkan istilah ini dengan “Selamat ulang tahun!� Lalu tengoklah pula bangsa Arab! Dalam hal ini, mereka menggunakan istilah milad, waktu lahir. Kata birthday maupun milad sama sekali tidak bersangkut-paut dengan pengulangan tahun kelahiran. Penggunaan dua kata ini jelas lebih bijaksana dan lebih bertanggung jawab secara logika.

Sebenarnya, di sementara kalangan di negeri ini, sudah mulai digunakan istilah yang lebih baik. Beberapa di antaranya yang notabene merupakan organisasi Islam menyerap istilah asing: milad. Beberapa yang lain, meskipun menggunakan bahasa Indonesia, tetapi mereka menggunakan dengan benar dan masuk akal. Mereka memilih istilah harlah, kependekan dari hari lahir.

Tetapi baiklah, kesalahan ini tak perlu terlalu dihiraukan. Toh banyak sekali kesalahan yang terjadi pada bangsa ini, semua itu tak pernah merisaukan hati kita. Jadi walau agak lucu, kita teruskan saja penggunaan istilah ulang tahun. Meskipun istilah ini tidak masuk akal? Ah, sejak kapan bangsa ini mempedulikan akal sehat???

***

Ulang tahun, sekali lagi, bukan untuk mengulang hari kelahiran kita: masa lalu kita. Masa lalu akan tetap tertinggal di masa lalu, sementara kita berjalan menaiki kereta waktu yang melaju dengan cepat ke depan dan tak akan pernah mundur sejengkal pun ke belakang.

Walaupun demikian, masa lalu tak akan pernah terhapuskan. Ia akan senantiasa berada di belakang kereta waktu. Di kereta waktu itu, kita bisa menengok ke belakang, lalu tertawa bahagia, atau menangis haru, atau memandang dengan penuh kejengkelan. Di kereta itu, sebaliknya, kita juga bisa tidak menengok ke belakang: memalingkan muka. Tetapi, sekali lagi, masa lalu itu tetap ada dan tak terhapuskan.

Ketika masa lalu itu begitu indah dan masa kini begitu suram, terkadang kita ingin kembali ke sana, tetapi waktu tak pernah berjalan ke belakang. Masa lalu hanya bisa kita kenang.

Berapa lamakah masa yang merentang dari saat kita lahir sampai sekarang? Berapa banyakkah kisah yang telah kita alami selama rentang waktu itu? Adakah kisah-kisah itu membuat kita lebih dewasa dan lebih arif dalam memandang hidup? Pertanyaan-pertanyaan inilah barangkali yang seharusnya menjadi relevansi ulang tahun.

Ah, bukankah bertambahnya usia selalu menuntut kita agar kita bertambah dewasa, arif, cerdas, dan dekat dengan Tuhan dan sesama manusia? Jika kita tak mampu menjawab tuntutan-tuntutan ini dengan benar, bertambahnya usia hanya berarti hitungan mundur menuju kematian.

By: Kawan dari "Sisi Kanan"

No comments: